Baru-baru ini saya mendengar salah satu rekaman video ceramah Gus Ulil Absar Abdalla dari salah satu komentar di Facebook. Di video tersebut, beliau menceritakan hasil diskusi dan percakapan non-formal beliau dengan Gus Yahya Kholil Staquf (Ketua Umum PBNU) mengenai pemilu yang terjadi di Indonesia, yang menurut saya menarik untuk ditulis di sini.
Gus Yahya, sebagaimana diceritakan oleh Gus Ulil, Pemilu yang terjadi di Indonesia maupun sebenarnya juga di dunia secara luas, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif, pada dasarnya adalah industri. Industri di sini dalam arti sebagai proses transaksi antar berbagai pihak. Suka atau tidak suka, pemilu yang terjadi pada zaman sekarang ini, pada akhirnya adalah proses industri. Di mana satu pihak dengan pihak lain melakukan barter atau saling bertukar kepentingan, yang satu jual apa, yang lain beli. Ada dan jelas perhitungannya. Itulah hukum yang terjadi selama ini.
Walaupun sebenarnya tentu saja ada pihak-pihak yang masih berpegang teguh dengan nilai-nilai. Tetapi yang lebih dominan dalam konteks demokrasi selama ini adalah pihak-pihak yang bertransaksi tadi. Kita suka atau tidak suka, ya begitu lah kenyataannya. Mau diprotes dengan cara apapun, ya begitulah faktanya.
Karena itulah, kita sebagai warga NU harus mempertimbangkan fakta seperti ini. Jangan sampai kita menjadi sasaran atau korban dari transaksinya orang lain. Oleh karena itu, kita, sebagai orang NU harus juga ikut bertransaksi. Memang seperti itulah kenyataannya, semua orang saat ini sedang melakukan transaksi. Kalau kita orang NU tidak melakukan transaksi, maka kita yang akan menjadi sasaran atau korban dari transaksinya orang lain. Namun perlu diingat, karena NU merupakan ormas yang mempunyai dan berpegang teguh dengan nilai, maka transaksi yang kita lakukan adalah harus transaksi yang diikat oleh nilai dan norma.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa itu nilai atau norma yang dipegang oleh NU? Jawabannya adalah norma atau nilai yang dirumuskan di dalam pedoman berpolitik yang disusun di Muktamar Krapyak tahun 1989 M dan ditegaskan kembali di Munas kemarin di Pondok Gede, bahwa transaksi yang kita lakukan haruslah berpijak pada nilai kemaslahatan. Kemaslahatan dimaksud di sini adalah kemaslahatan yang diarahkan untuk sebanyak mungkin rakyat atau masyarakat Indonesia. Tidak boleh berdasarkan ashobiyah emosional, tapi harus berdasarkan ashobiyah transaksional. Transasksi yang kita lakukan mesti harus pakai perhitungan. Ini hitungannya jelas atau tidak, dan harus dipertimbangkan, hasil dari transaksi ini manfaatnya untuk siapa. Kalau manfaatnya terbatas hanya untuk satu kelompok saja, ya tidak bisa. Gus Yahya berkali-kali mengatakan, kalau sudah berpolitik begini, kemaslahatan yang kita pikirkan adalah kemaslahatan untuk seluruh rakyat Indonesia, tidak bisa lagi hanya untuk kepentingan orang NU saja. Prinsip inilah di antaranya membuat Gus Ulil kagum dengan Gus Yahya.
Kata Gus Yahya, kalau Indonesia menang, maka NU ikut menang. Tapi, kalau NU yang menang, belum tentu Indonesia menang. Kalau Indonesia jaya dan Emas, maka yang jaya dan emas juga NU. Kenapa? Karena dari segi jumlah, NU itu lebih dari separuh penduduk Indonesia. Jadi, kalau Indonesia menang, maka NU dengan sendirinya menang. Karena itu, memikirkan kemaslahatan Indonesia, dengan sendirinya sudah inklusif di dalamnya, juga ikut memikirkan NU. Pertimbangan kita memilih, haruslah perhitungan yang transaksional, yang maslahatnya untuk sebanyak-banyaknya warga Indonesia. Jangan memilih hanya berdasarkan emosional, apalagai golongan. Oleh karena itu, pertimbangan ini dipegang tujuannya adalah supaya kebesaran NU ini tidak hanya menjadi kebesaran yang sifatnya sementara saja, tetapi jangka panjang.
*Muh. Haris Zubaidillah