Jumat, 13 Desember 2024

Maroko dan Alquran: Menghafal Quran Metode Lauh dan Qalam

Rabu, 11 Desember 2024, Alhamdulillah, kami mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke pedalaman Maroko, di Madinah Lala Maimunah tepatnya. Kami melihat langsung dg mata kepala, sebuah tradisi yang luar biasa dalam menghafal Al-Qur'an, yaitu metode hafalan bil-lauh / menghafal sambil menulis di sebuah papan, di sebuah Ma'had Tahfiz di pedalaman Maroko. 

Di sini, santri bukan hanya hafal di luar kepala (shadran), tetapi juga mahir dan cermat dalam menulisnya sesuai "Rasm Utsmani" dg Qiraat Nafi Riwayat Warsy dari awal juz hingga lengkap 30 juz, dhobthan fil kitabah wal hifzh ala al-Shodr. Santri bukan hanya dituntut untuk menghafal dg mutqin, tetapi juga harus terampil dalam menulis Al-Qur’an dengan tingkat ketelitian dan kecermatan yang tinggi.

Alhamdulillah, di sini, kami dapat menyaksikan langsung proses menghafal dg metode lauh ini. Santri menulis ayat-ayat Al-Qur'an di papan menggunakan tinta dan pena bambu. Setelah itu, Syekh dengan sabar mengoreksi tulisan mereka (marhalah tashih) dan memberi petunjuk atau rumus untuk mengingat ayat-ayat yang memiliki kesamaan. Misalnya, Syekh akan memberi rumus yg menunjukkan bahwa kalimat لله ما في السماوات والأرض secara terpisah ada lima kali dalam Al-Qur'an, sedangkan frasa لله ما في السماوات وما في الأرض muncul sebanyak sebelas kali. Dg metode ini santri bukan hanya hafal ayat-ayat Alquran, tetapi juga cermat dan teliti dg ayat-ayat yg mirip. 

Namun demikian, tulisan yang telah selesai ditulis di papan itu tidak disimpan, tapi dihapus dan dilanjutkan dg menulis ayat yang akan dihafalkan berikutnya. Setelah sejumlah ayat yg tertulis di lauh dihafal dengan baik, melalui pengulangan minimal hingga 200 kali dan telah disetujui oleh Syekh, tinta tulisan yg ada di lauh itu dihapus dengan air. Lalu, papan dikeringkan menggunakan sinar matahari atau gas, dan sang Syekh memberikan garis-garis baru di papan tersebut untuk memudahkan santri menulis hafalan berikutnya. Setiap tingkatan santri memiliki gaya garis berbeda. Bagi pemula, Syekh memberi garis lebih lebar, agar memuat catatan dan koreksi dari Syekh.

Setelah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an, para santri melanjutkan ke tingkat berikutnya, yaitu "mustawa tafaqquh", untuk mendalami akidah Asy’ari dan fikih Maliki. Sebagian santri juga melanjutkan studi ke Ma'had yang fokus mengajarkan kitab-kitab turats. 

Pengajar Tahfiz di sini sepakat bahwa hafalan Al-Qur'an adalah pondasi penting, tetapi tidak cukup untuk menjadi seorang alim. Untuk menjadi alim, diperlukan perjalanan panjang melalui pembelajaran bertahap (tadarruj) mulai dari kitab-kitab dasar hingga tingkat tinggi.

Ada perbedaan tradisi yang menarik antara Maroko dan Indonesia. Di Indonesia, santri biasanya mencium tangan guru setelah setoran. Di Maroko, mereka justru mengecup kepala guru sebagai tanda penghormatan.  

Kunjungan ini tentunya bukan hanya memberi pelajaran berharga tentang bagaimana menghafal Quran yg cermat, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam tentang kekayaan tradisi keilmuan dan tsaqafah di Maroko. Sambutan hangat dan suasana kekeluargaan membuat kami merasa seperti di rumah sendiri, orang Maroko menyebutnya bahwa Maroko merupakan rumah kami (orang Indonesia) yg kedua (setelah Indonesia), "Hadzihi Baldatukum al-Tsaniah". 

Alhamdulillah, perjalanan ini menjadi pengalaman berharga dalam memahami lebih jauh bagaimana tradisi keilmuan terus dijaga dengan ikhlas dan serius. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan taufik oleh Allah. Amin


Muh Haris Zubaidillah, 

Utusan Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai

Peserta Program Karya Tulis Ilmiah Turats di Markaz Inma lil Abhats wad Dirasat al Mustaqbaliyah Maroko 

Beasiswa Luar Negeri Program Non-Degree Kemenag-LPDP Republik Indonesia