Oleh: Muh. Haris Zubaidillah
Silaturrahmi Alim Ulama dan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang diselenggarakan di Aula STAI Rakha Amuntai pada Kamis, 18 Desember 2025, bukan sekadar agenda seremonial. Bagi saya, kegiatan ini merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali peran strategis ulama dan MUI dalam membina umat sekaligus menguatkan sinergi dengan negara dalam konteks pembangunan daerah.
Kehadiran para ulama, ustadz, kyai pondok pesantren, akademisi, serta mahasiswa dalam satu forum bersama pemerintah daerah menunjukkan bahwa pembinaan umat tidak dapat dilepaskan dari kolaborasi lintas sektor. Ulama tidak berdiri di menara gading, dan pemerintah pun tidak bisa berjalan sendiri tanpa bimbingan nilai-nilai moral dan spiritual. Di titik inilah makna silaturrahmi menemukan relevansinya: mempertemukan otoritas moral dan otoritas struktural demi kemaslahatan umat.
Dalam perspektif keislaman, sebagaimana disampaikan oleh Ketua MUI, peran ulama berakar kuat pada Al-Qur’an, Hadis, dan tradisi keilmuan para ulama terdahulu. Ulama adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya’), yang tugas utamanya membimbing umat agar tetap berada di jalan yang lurus, menjaga akidah, akhlak, dan harmoni sosial. Namun, di era negara-bangsa modern, peran ini tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan kebijakan publik.
Dari sudut pandang pemerintah, sebagaimana dipaparkan oleh perwakilan pemerintah daerah, ulama memiliki posisi strategis sebagai mitra dalam pembangunan. Ulama bukan hanya pemberi nasihat keagamaan, tetapi juga agen moral yang mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan, moderasi beragama, serta kepedulian sosial di tengah masyarakat. Pemerintah membutuhkan suara ulama untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berorientasi pada aspek material, tetapi juga berlandaskan etika dan kemanusiaan.
Dalam perspektif negara dan sosiologis, saya memandang bahwa MUI dan ulama memiliki fungsi ganda. Pertama, sebagai penjaga moral publik (moral guardian) yang mengawal nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Kedua, sebagai jembatan komunikasi antara umat dan negara. Di tengah dinamika sosial yang kompleks—mulai dari tantangan narkoba, krisis keteladanan, hingga persoalan generasi muda—peran ulama menjadi semakin vital untuk merawat kohesi sosial dan ketahanan moral masyarakat.
Diskusi yang berkembang, terutama terkait komitmen bersama antara pemerintah dan ulama dalam memberantas narkoba di Kabupaten Hulu Sungai Utara, menunjukkan bahwa persoalan sosial tidak dapat diselesaikan secara parsial. Dibutuhkan gerakan bersama yang melibatkan regulasi, penegakan hukum, pendidikan, dakwah, dan keteladanan. Komitmen pemerintah daerah untuk menghadirkan kebijakan yang ramah rakyat dan anak, termasuk rencana pembangunan taman ramah anak yang gratis, patut diapresiasi sebagai langkah konkret yang selaras dengan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan.
Saya meyakini bahwa sinergi ulama dan pemerintah bukanlah relasi yang saling menegasikan, melainkan relasi saling menguatkan. Ulama tetap menjaga independensi moralnya, sementara negara menghormati peran strategis ulama sebagai mitra kritis dan konstruktif. Jika sinergi ini dirawat dengan baik, maka pembinaan umat tidak hanya akan melahirkan masyarakat yang religius, tetapi juga masyarakat yang beradab, inklusif, dan berdaya.
Silaturrahmi ini semestinya menjadi titik tolak untuk memperkuat komitmen bersama dalam membangun Hulu Sungai Utara yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga kokoh secara moral dan spiritual. Di sanalah peran ulama dan MUI menemukan maknanya yang paling substantif: menghadirkan nilai, menjaga umat, dan mengawal masa depan bersama.



Haris
